[REVIEW] Merah Putih Memanggil


Komando latihan pertempuran, disinilah raider dilahirkan, dengan jiwa satria.. infanteri namanya, sapta marga pedoman kita, gunung hutan rawa laut ditempa, itulah sahabat kita, semangat membara tak kenal menyerah, TRIDHARMA selalu siap sedia, dimana kami berada Merah Putih selalu di dada, tridharma rela berkorban jiwa untuk bangsa dan negara, lebih baik gagal di medan latihan, daripada gagal di medan pertempuran, mari kita berlatih bersama kalau tidak mau pulang nama, dibawah naungan ibu pertiwi, tri dharma tak pernah ingkar janji, untukmu bangsa dan negeri ini NKRI HARGA MATI - Yel-Yel Raider TNI
Sekelompok teroris menangkap dan  menyandera tujuh orang penumpang kapal pesiar dan membawa mereja ke dalam pulau yang menjadi tempat persembunyian mereka dan markas mereka berada diluar yuridiksi Negara Indonesia, Demi keselamatan warga negara Indonesia yang juga merupakan salah satu dari sandera yang ditangkap oleh kelompok teroris tersebut, Tentara Nasional Indonesia bermaksud melakukan penyusupan. Masuk ke pulau dan keluar dengan membawa para sandera dengan selamat. Tentara gabungan Indonesia 'hanya' diberikan waktu 48 jam untuk menjalankan operasi Simpel. Namun  bukan tanpa kendala dan bahaya. Dalam pulau yang berbahaya tersebut, segala rencana yang sudah disusun bisa berantakan oleh berbagai macam hal. Ini berubah menjadi misi hidup atau mati. Para tentara harus menyelamatkan sandera-sandera dan membawa mereka ke titik penyelamatan, menyusuri hutan yang dipenuhi oleh teroris. Mereka dihujani peluru, dan satu persatu gugur.

(c) google.image
Belum lama ini kita sudah menyaksikan bagaimana Christopher Nolan 'menghajar' batasan film yang bertema perang lewat Dunkirk (2017), begitu banyak terobosan yang dibuat sang-Creator dari segi filmmaking, dan juga bercerita. Nolan dengan berani menaruh kita dalam situasi perang, yang parahnya terobosan yang dilakukan oleh Nolan menjadi lebih Tune-in-out, sehingga kita gak perlu mengenal para tokoh beserta latar belakangnnya untuk menjadi peduli. Karena hal ini lah begitu menonton Merah Putih Memanggil, saya ada perasaan sedikit aneh. Mungkin perbandingannya memang sangat jauh, namun T.B. Silalahi tidak melakukan inovasi dalam cerita dari film garapannya ini. Tidak ada opsi-opsi baru yang diambil. hal klise seperti prajurit yang meninggalkan istrinya yang sedang hamil kembali kita temui sebagai cara mudah dalam usaha 'memancing' sisi dramatis. Film ini diniatkan tentang KEKUATAN MILITER INDONESIA, dan mereka melakukannya dengan old but classy, mengusahakan hal terbaik yang mereka bisa. Tetapi  sebenarnya ada banyak yang bisa dilakukan untuk meng-improve ataupun membuat film ini menjadi lebih wah, menantang, dan juga menyenangkan lagi untuk kita tonton.

Sinopsis resmi film ini mengatakan "tujuh sandera adalah orang-orang dari kewarganegaraan yang berbeda". Sungguh sangat disayangkan sekali, tidak banyak dari mereka yang diberi kesempatan berbicara, apalagi diberikan perspektif yang dalam pada peran yang mereka mainkan. Menurut saya, film ini sungguh melewatkan kesempatan besar di sini. maksud saya, warga negara A, B, C dan D disandera secara bersamaan dan disekap di pulau negara E, diselamatkan oleh negara C. simple right?. dalam hal ini mereka bisa menciptakan dialog atau bahkan konflik kemanusiaan skala global di sini. Tapi tidak, film hanya fokus memperlihatkan sedikit latar belakang dari  tokoh-tokoh yang nantinya tewas, supaya kita bisa kasihan pada mereka. dan juga, cerita tidak pernah mengeksplorasi sisi sang-teroris, siapa mereka?, dari mana mereka? dan kenapa Ariyo Wahab menculik orang-orang dengan berkewarganeraan berbeda?, dan juga kenapa dia bisa punya seragam dan pasukan sendiri?. Apakah dia hidup sudah terlalu lama sebagai tentara sehingga menjadi penjahat karena dihianati oleh negaranya sendiri. we don't know and why we should cares about they?

(c) google.image
Di sisi lain, toh film ini juga punya sisi cukup menarik yang muncul permukaan saat paruh ketiga (Konflik). Ada keretakan pada barisan musuh, sebab mereka tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. saya suka dengan plot poin disini ini, karena dari awal film sudah menampilkan bahwa sebelum berangkat, tentara Indonesia meninggalkan semua identitas dan atribut negara. Mereka tidak mau di-kenali sebagai tentara nasional Indonesia oleh musuh yang mungkin dengan alasan politis. Ini menciptakan misteri di pihak musuh. Poin ini juga dimainkan dengan cukup baik, di mana di akhir pertempuran, ada satu tentara yang memutuskan untuk mengikat perban yang berlumuran darah di kepala, memakainya sebagai bandana, dan ini seperti menampilkan membanggakannya diri mereka bertempur atas nama Indonesia. Film ini mestinya banyak menyisipkan hal-hal subtil seperti ini, karena ini feel-nya dapet banget.

(c) google.image
paruh pertama dalam film adalah babak set-up standar yang begitu terbebani oleh banyaknya eksposisi. Kita mendengar detil apa rencana mereka, kita mendengar banyak informasi dengan istilah-istilah militer. Menurut saya bagian inilah yang paling membosankan. saya juga merasa ada warna yang kontras antara paruh pertama dengan paruh ke-tiga. Di tiga puluh menit awal film, seperti bermain aman. Scene tembak-tembakannya bersih, tidak ada darah berlebihan, kamera juga sering nge-cut dengan cepat beralih dari adegan yang menegangkan, seolah film ini ingin me-minimalisir kekerasan supaya bisa mendapatkan rating Remaja. saya pikir, ini adalah keputusan yang sedikit aneh. Sebab film dengan tema perang akan sulit sekali meyakinkan jika tidak berani mempertontonkan adegan kekerasan serta 'darah'. Dan sepertinya film ini pun setuju, sebab di paruh tiga mereka seakan mengumpat “ah bodo amat lahhh...” dan kita dipertontonkan adegan orang menggigit putus jarinya sendiri. Bagian aksi pun seketika meningkat di paruh ke-tiga. Quick-cut dan kamera yang goyang juga berkurang, kita lebih mudah masuk kesetiap scene. Karena di bagian sebelumnya, editing bagian aksi tampak chaos sekali, kita tidak bisa tahu pasti siapa yang menembak?, siapa yang mati?, mereka ada di mana? kamu dimana? dengan siapa? kau sedang berbuat apa? yolanndaaaa... ehh XD. pada Adegan penyusupan awal, saat tentara terjun payung masuk ke dalam wilayah teroris, tidak terasa ketegangannya, 'hening'. Build up-nya ada namun ter-overlook oleh kasar dan absurpt-nya editing dalam penyatuan adegan.

Malahan, ada beberapa adegan yang jatuhnya sedikit kocak dan memancing tawa penonton. Tentara menembak sarang lebah terus pasukan teroris kabur karena takut disengat persis adegan Tuyul dan Mbak Yul, sukses bikin saya dan beberapa penonton didepan saya 'ngakak'. Para pasukan sempat-sempatnya ganti riasan kamuflase, mereka sembunyi di semak-semak, lucunya adalah hutan yang mereka gunakan untuk sembunyi enggak serimbun itu. Akting sedikit kaku dari para tentara bisa dimaafkan karena mungkin memang begitulah tentara sebenarnya di dunia nyata. Sebenarnya set dan properti juga terlihat genuine, dan mungkin ‘sesederhana’ itu perjalanan tentara dalam menjalankan misi sesungguhnya. Namun, ketika kita mengolah film, kita harus mampu memancing ketertarikan. Membangun hal sederhana menjadi menarik, membumbui dengan adegan drama dan konflik yang meyakinkan, dan menurut saya Film ini kurang dari sisi menampilkan plot.

(c) google.image
saya bahkan lebih peduli sama ular yang mereka makan, itu ular beneran kah? Apa film ini nge-input Cannibal Holocaust (1980) dengan scene makan binatang itu? para karakter Merah Putih Memanggil seharusnya bisa digali lagi dalam pengadeganan tokoh yang mereka perankan. Atau kalau mau mirip Dunkirk, rekam adegan aksinya dengan meyakinkan dan tampilkan sesuatu penceritaan yang baru. Dari sekian banyak para sandera, cuma satu yang dikasih dialog, dan itupun hanya sebatas nanyain orangtua-nya.  serta Mentari De Marelle di sini tidak diberikan karakter yang cukup berarti. Tokohnya di sini cuma jadi cewek blasteran, and she didn't do anyting selain cuma nanya di mana orangtuanya. Teriak gak jelas, Panik, Annoying. Tatapan Prisia Nasution (btw di sini tokohnya pendiem banget) yang ketika si Mentari lagi-lagi merengek, nangis, teriak, gak jelas dan bikin saya ingin teriak “can you f*****g shoot her!!!”

Sebenarnya sulit juga mengulas film ini, karena ia 'punya' kepentingan, dan saya takut di-salah-arti-kan tidak menghargai jasa pahlawan. I mean, saya bahkan tidak tahu apakah ini dari kisah nyata atau bukan, pada akhir film mereka kasih liat foto-foto jadul para tentara yang saya tidak yakin apa hubungannya dengan cerita di film ini. Saya hanya melihat ini dari sisi hasil akhirnya sebagai sebuah film. Plotnya simpel, "Yang tadinya dalam bahaya, jadi selamat". Yang tadinya 'hanya' tentara, jadi pahlawan. Ada nuansa genuine saat adegan aksi. Hanya saja mereka tidak menggarapnya sehingga menjadi cukup intens dan menarik. Film ini terlalu standar untuk menjadi tontonan yang harus diperhitungkan untuk genre survival and war. Toh, setidaknya film ini menyampaikan maksudnya "Jika film G30S PKI sukses besar menampilkan PKI sebagai antagonis, maka film ini sukses membuat kita lebih nyaman dan percaya kepada kekuatan militer Indonesia"

  Walaupun telat, saya pribadi mengucapkan Dirgahayu Tentara Nasional Indonesia yang ke-72 tahun. Bersama Rakyat TNI Kuat

"NKRI HARGA MATI"
last but not least 

"You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain" - Two Face (The Dark Knight)







Posting Komentar

0 Komentar