Sejak awal kemunculannya, boneka yang aslinya adalah boneka yang unyu ini menjadi tren baru dalam film horor hollywood modern
Film horor satu ini bercerita tentang Seorang tukang kayu membuat sebuah boneka yang mirip dengan manusia. Boneka tersebut dia dandani, dia kasih baju baru. Tapi tukang kayu yang satu ini bukan bernama Pak Gepetto. Dia tidak pernah memohon kepada peri biru supaya bonekanya hidup. Apalagi supaya bonekanya membunuhi dan memakan jiwa orang-orang. Pak Mullins, berdoa supaya putri kecil semata wayangnya hidup kembali. Beliau dan istrinya begitu terpukul sehingga mereka meminta kepada apa yang dijelaskan dalam babak ketiga film ini. Annabelle: Creation adalah cerita asal mula gimana boneka Annabelle dibuat dan berujung menjadi tempat bersemayam suatu entitas jahat yang menyebarkan horor ke sebuah panti asuhan, sebelum akhirnya horor tersebut menyebar ke mana-mana, sebagaimana yang sudah kita ketahui (Annabelle part 1).
Kita hidup di dunia di mana setiap studio film gede kepengen punya Dunia-Sinema sendiri. Ada superhero universe, monster universe, dan sekarang kita punya Conjuring Universe. that’s just a thing now. Indonesia juga sepertinya bakal punya juga, Doll Universe atau entah apa lagi yang diperkirakan bisa meraup untung gede. Buat Conjuring Universe katanya kita bakal dapat backstory dari masing-masing tokoh hantu, kayak Annabelle, The Crooked Man, dan Valak. Beginilah tren sekarang, kita harus menerimanya. Meski memang, dalam kondisi normal saya enggak akan pernah berpikir cerita origin Annabelle benar-benar penting untuk kita ketahui. Ini semacam prequel, film ini adalah cerita lanjutan dari film pertama yang merupakan prekuel dari The Conjuring (2013), jadi ya mindset saat masuk nonton adalah memang siap-siap melihat wahana cash grab banget.
But actually, wow, Annabelle: Creation bakal bikin malu film pertamanya. Bukan sekedar horor ngagetin. It is fun and very enjoyable, karakter Annabellenya sendiri digali dengan baik, cara mereka mengaitkan film ini dengan yang pertama keren banget, dan saat film berakhir, saya ingin tepuk tangan. So yea, perihal movie-movie cash grab kayak gini yang fokusnya bangun universe, sarannya ya memang udah trennya. Give it a chance. Stop fighting it, just give in to it…
Rumah yang dijadikan panti itu dijadikan kembali oleh sutradara sebagai sebuah tool-box of horror. Kita bisa lihat geliat kretivitasnya bekerja, penghuni yang kejebak di rumah yang ada hantunya, dan hasilnya memang menghibur. Sandberg mengerti betul dua aspek paling penting untuk diperhatikan ketika seorang sutradara membangun suspens. Sinematografi dan design suara. Banyak scares yang fun akibat dari penggunaan kamera, atmosfer, dan suara yang efektif. Jikapun ada gore, maka darah-darah itu dilakukan dengan sangat singkat. Secukupnya, enggak seperti pada The Doll 2 (2017) yang babak berdarahnya begitu horrifying sehingga menyemenkan genre lain di luar yang kita kira. Kita tidak terlepas dari cerita oleh efek dan segala macam gimmick berdarah di sini.
Annabelle: Creation juga punya kesamaan dengan Ouija: Origin of Evil (2016). Keduanya sama-sama cerita yang berangkat dari objek biasa yang jadi angker lantaran dihantui. Keduanya sama-sama membahas asal mula kenapa bisa terjadi. Keduanya sama-sama surprisingly jauh lebih baik dari film pertama mereka.
keduanya sama-sama menampilkan aktor cilik Lulu Wilson, yang penampilan aktingnya luar biasa banget pada masing-masing film. Kita akan mengikuti Lulu Wilson yang berperan sebagai Linda dan temannya bernama Janice (dimainkan dengan tak kalah totally amazingnya oleh Talitha Bateman).
Janice yang pincang dan Linda adalah sobat karib, mereka udah lama bareng di panti asuhan. Mereka berharap mereka bakal diadopsi bersama, jadi saudara beneran, mereka sering membicarakan harapan ini, dan membuat tokoh mereka jadi punya kedalaman. Dan terutama kita jadi tumbuh rasa peduli, kita ingin melihat impian mereka berbuah manis. Jadi,kita punya karakter, tokoh film ini bukan sebatas anak kecil yang suka main boneka. Mereka tidak diberikan skrip dan arahan sekedar ngeliat hantu ataupun bicara sendiri. Ini lebih dari gangguan hantu di malam hari. Ada set up drama. Persahabatan mereka diuji oleh kehadiran si roh jahat. Ketika hal mulai menjadi semakin serius dan semakin mengerikan menuju ke babak tiga, kita akan terinvest sepenuhnya kepada nasib kedua anak.
Saya jadi kepikiran untuk bikin semacam jumpscare meter setiap kali ngereview film-film horor. Buat film ini, itungan jumpscare-nya tinggi banget di paruh awal. Ada banyak momen yang kayak nge-build ke sesuatu untuk kemudian diikuti oleh suara yang lantang.
jika ditelusuri dari awal film ini memiliki skrip yang enggak kuat-kuat amat, terutama di bagian awal. Film menyediakan ruang untuk set up sehingga ceritanya terasa lambat, dan untuk mengakali ini mereka merasa perlu untuk memasukkan jump scare supaya penonton enggak bosan. Langkah yang bisa dimengerti, namun tetap bukanlah pilihan terbaik.
Tadi saya sempat nyebutkan cerita terselesaikan dengan keren tokoh-tokoh mendapatkan apa yang mereka mau, bahkan Annabelle ‘reuni’ dengan bonekanya langkah yang sangat cerdas ke Annabelle (2014) dan urban legend Annabelle yang asli. Aspek yang sedikit goyahnya adalah pergantian sudut pandang selama narasi. ada pergantian tokoh utama. Ini sebenarnya adalah resiko kreatif penceritaan yang diambil, karena biasanya kalo ganti-ganti begini paling enggak ada benang merah atau keparalelan pada status tokoh utama dan kedua. Narasi film tidak menjelaskan semua, hanya beberapa tokoh. Meski begitu saya tetep bisa respek film ini karena film ini nunjukin mainstream horor bisa kok diolah dengan baik dan enggak melulu dominan oleh cheap scare.
Horor dengan jumpscare yang baik, walaupun di paruh awal terlalu mengandalkan jump scare. Arahan dan performance akting yang kuatlah (terutama dari aktor-aktor cilik) yang membuat film ini menjadi menyenangkan. Bikin kita terasa masuk ke inti cerita. Dan secara konstan merepet di sudut kursi masing-masing. Horor mainstream ternyata mampu diolah menjadi bagus di tangan filmmaker yang handal. Prekuel dari prekuel enggak setiap hari adalah sesuatu yang jelek. Film ini dapat menjadi Teladan yang baik sekaligus adalah PR berat bagi sineas-sineas tanah air, jikalau memang ingin membuat scene horor lokal yang benar-benar layak menyandang status genre signature di film Indonesia. Sebab, seperti yang disenggol oleh film ini, hantu juga ingin punya rumah.
Well buat para pria penuh modus, film ini masih tuh di bioskop, kalo aja bisa modus buat dipeluk sama gebetan
0 Komentar